Lampung Selatan, Atmosfirnews.id
Mesin Air Masjid, 19 Ribu Pekerjaan dan Hari Kemerdekaan
Oleh Wahyudi:
Bulan Agustus selalu datang dengan gegap gempita. Di kota-kota, bendera merah putih berkibar di setiap sudut jalan, panggung peringatan kemerdekaan berdiri megah dan pidato-pidato resmi menggema dengan bahasa penuh semangat.
Tahun ini, 2025, Hari Kemerdekaan RI ke 80 , salah satu yang menjadi sorotan adalah janji kampanye Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran yang akan menyediakan 19 ribu lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia, sebuah angka yang terdengar begitu meyakinkan ketika diucapkan di depan kamera.
Namun, di Desa Tarahan, Kecamatan Katibung, Lampung Selatan, berita yang sampai justru berbeda. Bukan tentang perekrutan besar-besaran, bukan tentang pembukaan pabrik atau proyek padat karya, tetapi tentang pencurian mesin pompa air milik Masjid Al Ikhlas.
Perangkat sederhana yang nilainya mungkin tidak sebanding dengan satu spanduk kampanye itu, tapi fungsinya tak tergantikan yaitu mengalirkan air untuk wudhu, membersihkan masjid, dan mendukung ibadah warga setiap hari.
Situasi kontras ini begitu menusuk. Satu sisi berbicara tentang ribuan pekerjaan yang diharapkan mengangkat perekonomian rakyat, sementara sisi lain menunjukkan bahwa pada kenyataannya ada orang yang rela mencuri demi mendapatkan sesuatu yang bahkan bukan barang mewah.
Bila pekerjaan benar-benar tersedia dan kesejahteraan merata, masih perlukah ada yang mengambil risiko menjadi pencuri hanya untuk mendapatkan mesin pompa air?
Janji 19 ribu lapangan pekerjaan seharusnya tidak berhenti sebagai angka yang cantik di atas kertas atau slide presentasi.
Ia harus diwujudkan menjadi kesempatan nyata yang menjangkau hingga pelosok, tempat seperti Tarahan yang jarang masuk headline kecuali saat ada kasus kriminal.
Sebab kemerdekaan yang sejati bukan diukur dari besar kecilnya perayaan 17 Agustus, melainkan dari seberapa aman dan layaknya kehidupan rakyat sehari-hari.
Ironisnya, Hari Kemerdekaan sering diisi dengan lomba-lomba, parade, dan panggung hiburan yang meriah, tetapi di desa-desa, warga justru harus mengumpulkan dana untuk mengganti fasilitas masjid yang hilang.
Ada semacam jarak yang menganga antara narasi besar yang diceritakan di kota dengan realitas yang dirasakan di kampung. Di televisi, kita melihat baju adat dan senyum para pejabat; di lapangan, kita melihat pintu gudang masjid yang jebol dan pipa air yang berhenti mengalir.
Peristiwa pencurian ini, sekilas memang hanya kasus kecil. Tetapi ia adalah cermin yang memantulkan wajah kemerdekaan kita hari ini, masih ada warga yang hidup dalam kesulitan, masih ada ruang kosong di mana janji pekerjaan dan kesejahteraan belum mengisi.
Jika kemerdekaan sejati berarti bebas dari rasa takut, bebas dari kekurangan, dan bebas untuk beribadah tanpa hambatan, maka hilangnya mesin air masjid adalah tanda bahwa kemerdekaan itu masih tertunda.
Mungkin inilah yang harus diingat para pembuat kebijakan dan pemegang janji kampanye. Rakyat tidak menuntut pesta besar atau slogan indah.
Mereka hanya ingin hidup aman, punya pekerjaan yang layak, dan bisa beribadah tanpa khawatir kehilangan fasilitas sederhana yang mereka butuhkan.
Ketika janji 19 ribu lapangan pekerjaan benar-benar hadir dan merata, kita tidak lagi akan membaca berita tentang pencurian mesin pompa air masjid di bulan kemerdekaan.
Sampai hari itu tiba, kemerdekaan akan tetap menjadi sesuatu yang dirayakan di panggung, tetapi dirindukan di pelosok.
Penulis : Redaksi